Kamis, 19 November 2009

SANGKURIANG DAN LEGENDA DANAU PURBA BANDUNG


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sangkuriang adalah legenda yang berasal dari Tatar Sunda. Legenda tersebut berkisah tentang penciptaan danau Bandung, Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Burangrang dan Gunung Bukit Tunggul.

Dari legenda tersebut, kita dapat menentukan sudah berapa lama orang Sunda hidup di dataran tinggi Bandung. Dari legenda tersebut yang didukung dengan fakta geologi, diperkirakan bahwa orang Sunda telah hidup di dataran ini sejak beribu tahun sebelum Masehi.

Legenda Sangkuriang awalnya merupakan tradisi lisan. Rujukan tertulis mengenai legenda ini ada pada naskah Bujangga Manik yang ditulis pada daun palem yang berasal dari akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 Masehi. Dalam naskha tersebut ditulis bahwa Pangeran Jaya Pakuan alias Pangeran Bujangga Manik atau Ameng Layaran mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di pulau Jawa dan pulau Bali pada akhir abad ke-15.

Setelah melakukan perjalanan panjang, Bujangga Manik tiba di tempat yang sekarang menjadi kota Bandung. Dia menjadi saksi mata yang pertama kali menuliskan nama tempat ini beserta legendanya. Laporannya adalah sebagai berikut:

Leumpang aing ka baratkeun (Aku berjalan ke arah barat)
datang ka Bukit Patenggeng (kemudian datang ke Gunung Patenggeng)
Sakakala Sang Kuriang (tempat legenda Sang Kuriang)
Masa dek nyitu Ci tarum (Waktu akan membendung Citarum)
Burung tembey kasiangan (tapi gagal karena kesiangan)

Ringkasan Cerita

Berdasarkan legenda tersebut, diceritakan bahwa Raja Sungging Perbangkara pergi berburu. Di tengah hutan Sang Raja membuang air seni yang tertampung dalam daun caring (keladi hutan). Seekor babi hutan betina bernama Wayungyang yang tengah bertapa ingin menjadi manusia meminum air seni tadi. Wayungyang hamil dan melahirkan seorang bayi cantik. Bayi cantik itu dibawa ke keraton oleh ayahnya dan diberi nama Dayang Sumbi alias Rarasati. Banyak para raja yang meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada yang diterima. Akhirnya para raja saling berperang di antara sesamanya. Dayang Sumbi pun atas permitaannya sendiri mengasingkan diri di sebuah bukit ditemani seekor anjing jantan yaitu Si Tumang. Ketika sedang asyik bertenun, toropong (torak) yang tengah digunakan bertenun kain terjatuh ke bawah. Dayang Sumbi karena merasa malas, terlontar ucapan tanpa dipikir dulu, dia berjanji siapa pun yang mengambilkan torak yang terjatuh bila berjenis kelamin laki-laki, akan dijadikan suaminya. Si Tumang mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi. Dayang Sumbi akhirnya melahirkan bayi laki-laki diberi nama Sangkuriang.

Ketika Sangkuriang berburu di dalam hutan disuruhnya si Tumang untuk mengejar babi betina Wayungyang. Karena si Tumang tidak menurut, lalu dibunuhnya. Hati si Tumang oleh Sangkuriang diberikan kepada Dayang Sumbi, lalu dimasak dan dimakannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya adalah hati si Tumang, kemarahannya pun memuncak serta merta KEPALA Sangkuriang dipukul dengan senduk yang terbuat dari tempurung kelapa sehingga luka.

Sangkuriang pergi mengembara mengelilingi dunia. Setelah sekian lama berjalan ke arah TIMUR akhirnya sampailah di arah BARAT lagi dan tanpa sadar telah tiba kembali di tempat Dayang Sumbi, tempat ibunya berada. Sangkuriang tidak mengenal bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah Dayang Sumbi – ibunya. Terjalinlah kisah kasih di antara kedua insan itu. Tanpa sengaja Dayang Sumbi mengetahui bahwa Sangkuriang adalah puteranya, dengan tanda luka di kepalanya. Walau demikian Sangkuriang tetap memaksa untuk menikahinya. Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang membuatkan perahu dan telaga (danau) dalam waktu semalam dengan membendung sungai Citarum. Sangkuriang menyanggupinya.

Maka dibuatlah perahu dari sebuah pohon yang tumbuh di arah timur, tunggul/pokok pohon itu berubah menjadi gunung ukit Tanggul. Rantingnya ditumpukkan di sebelah barat dan mejadi Gunung Burangrang. Dengan bantuan para guriang, bendungan pun hampir selesai dikerjakan. Tetapi Dayang Sumbi bermohon kepada Sang Hyang Tunggal agar maksud Sangkuriang tidak terwujud. Dayang Sumbi menebarkan irisan boeh rarang (kain putih hasil tenunannya), ketika itu pula fajar pun merekah di ufuk timur. Sangkuriang menjadi gusar, dipuncak kemarahannya, bendungan yang berada di Sanghyang Tikoro dijebolnya, sumbat aliran sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi Gunung Manglayang. Air Talaga Bandung pun menjadi surut kembali. Perahu yang dikerjakan dengan bersusah payah ditendangnya ke arah utara dan berubah wujud menjadi Gunung Tangkuban Perahu.

Sangkuriang terus mengejar Dayang Sumbi yang mendadak menghilang di Gunung Putri dan berubah menjadi setangkai unga jaksi. Adapun Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang disebut dengan Ujung berung akhirnya menghilang ke alam gaib (ngahiyang).

Kesesuaian dengan fakta geologi

Legenda Sangkuriang sesuai dengan fakta geologi terciptanya danau Bandung dan Gunung Tangkuban Parahu.[1]

Penelitian geologis mutakhir menunjukkan bahwa sisa-sisa danau purba sudah berumur 125 ribu tahun. Danau tersebut mengering 16000 tahun yang lalu.

Telah terjadi dua letusan Gunung Sunda purba dengan tipe letusan Plinian masing-masing 105000 dan 55000-50000 tahun yang lalu. Letusan plinian kedua telah meruntuhkan kaldera Gunung Sunda purba sehingga menciptakan Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Burangrang (disebut juga Gunung Sunda), dan Gunung Bukit Tunggul.

Adalah sangat mungkin bahwa orang Sunda purba telah menempati dataran tinggi Bandung dan menyaksikan letusan Plinian kedua yang menyapu pemukiman sebelah barat sungai Citarum (utara dan barat laut Bandung) selama periode letusan pada 55000-50000 tahun yang lalu saat Gunung Tangkuban Parahu tercipta dari sisa-sisa Gunung Sunda purba. Masa ini adalah masanya homo sapiens; mereka telah teridentifikasi hidup di Australia selatan pada 62000 tahun yang lalu, semasa dengan Manusia Jawa (Wajak) sekitar 50000 tahun yang lalu.

Sangkuriang dan Falsafah Sunda

Menurut abah Surya atau abah Hidayat Suryalaga, mantan Rektor Itenas Bandung, legenda atau sasakala Sangkuriang dimaksudkan sebagai cahaya pencerahan (Sungging Perbangkara) bagi siapa pun manusianya (tumbuhan cariang) yang masih bimbang akan keberadaan dirinya dan berkeinginan menemukan jatidiri kemanusiannya (Wayungyang). Hasil yang diperoleh dari pencariannya ini akan melahirkan kata hati (nurani) sebagai kebenaran sejati (Dayang Sumbi, Rarasati). Tetapi bila tidak disertai dengan kehati-hatian dan kesadaran penuh/eling (teropong), maka dirinya akan dikuasai dan digagahi oleh rasa kebimbangan yang terus menerus (digagahi si Tumang) yang akan melahirkan ego-ego yang egoistis, yaitu jiwa yang belum tercerahkan (Sangkuriang). Ketika Sang Nurani termakan lagi oleh kewaswasan (Dayang Sumbi memakan hati si Tumang) maka hilanglah kesadaran yang hakiki. Rasa menyesal yang dialami Sang Nurani dilampiaskan dengan dipukulnya kesombongan rasio Sang Ego (kepala Sangkuriang dipukul). Kesombongannya pula yang mempengaruhi “Sang Ego Rasio” untuk menjauhi dan meninggalkan Sang Nurani. Ternyata keangkuhan Sang Ego Rasio yang berlelah-lelah mencari ilmu (kecerdasan intelektual) selama pengembaraannya di dunia (menuju ke arah Timur). Pada ahirnya kembali ke barat yang secara sadar maupun tidak sadar selalu dicari dan dirindukannya yaitu Sang Nurani (Pertemuan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi).

Walau demikian ternyata penyatuan antara Sang Ego Rasio (Sangkuriang) dengan Sang Nurani yang tercerahkan (Dayang Sumbi), tidak semudah yang diperkirakan. Berbekal ilmu pengetahuan yang telah dikuasainya Sang Ego Rasio (Sangkuriang) harus mampu membuat suatu kehidupan sosial yang dilandasi kasih sayang, interdependency – silih asih-asah dan silih asuh yang humanis harmonis, yaitu satu telaga kehidupan sosial (membuat Talaga Bandung) yang dihuni berbagai kumpulan manusia dengan bermacam ragam perangainya (Citarum). Sementara itu keutuhan jatidirinya pun harus dibentuk pula oleh Sang Ego Rasio sendiri (pembuatan perahu). Keberadaan Sang Ego Rasio itu pun tidak terlepas dari sejarah dirinya, ada pokok yang menjadi asal muasalnya (Bukit Tunggul, pohon sajaratun) sejak dari awal keberada-annya (timur, tempat awal terbit kehidupan). Sang Ego Rasio pun harus pula menunjukkan keberadaan dirinya (tutunggul, penada diri) dan pada akhirnya dia pun akan mempunyai keturunan yang terwujud dalam masyarakat yang akan datangd dan suatu waktu semuanya berakhir ditelan masa menjadi setumpuk tulang-belulang (gunung Burangrang).

Betapa mengenaskan, bila ternyata harapan untuk bersatunya Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani yang tercerahkan (hampir terjadi perkawinan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi), gagal karena keburu hadir sang titik akhir, akhir hayat dikandung badan (boeh rarang atau kain kafan). Akhirnya suratan takdir yang menimpa Sang Ego Rasio hanyalah rasa menyesal yang teramat sangat dan marah kepada “dirinya”. Maka ditendangnya keegoisan rasio dirinya, jadilah seonggok manusia transendental tertelungkup meratapi kemalangan yang menimpa dirinya (Gunung Tangkubanparahu).

Walau demikian lantaran sang Ego Rasio masih merasa penasaran, dikejarnya terus Sang Nurani yang tercerahkan dambaan dirinya (Dayang Sumbi) dengan harapan dapat luluh bersatu antara Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani. Tetapi ternyata Sang Nurani yang tercerahkan hanya menampakkan diri menjadi saksi atas perilaku yang pernah terjadi dan dialami Sang Ego Rasio (bunga Jaksi).

Akhir kisah yaitu ketika datangnya kesadaran berakhirnya kepongahan rasionya (Ujungberung). Dengan kesadarannya pula, dicabut dan dilemparkannya sumbat dominasi keangkuhan rasio (gunung Manglayang). Maka kini terbukalah saluran proses berkomunikasi yang santun dengan siapa pun (Sanghyang Tikoro atau tenggorokan; B.Sunda: Hade ku omong goreng ku omong). Dan dengan cermat dijaga benar makanan yang masuk ke dalam mulutnya agar selalu yang halal bersih dan bermanfaat. (Sanghyang Tikoro = kerongkongan, genggerong).

Catatan Kaki

  1. ^ Koesoemadinata, R. The Origin and Pre-history of the Sundanese. Institute of Technology Bandung.

Rujukan

  1. Koesoemadinata, R. P., “Asal Usul dan Prasejarah Ki Sunda”, Sub theme” “Bidang Kajian Sejarah, Arkeologi dan filologi”, in Ajip Rosidi et.al (editor: Edi S.Ekadjati and A.Chaedar Alwasilah)
  2. Hidayat Suryalaga, Kajian Hermeneutika terhadap Legenda dan Mitos Gunung Tangkubanparahu dengan segala aspeknya, Hidayat Suryalaga, Orasi Ilmiah ketika Hari Wisuda Mahasiswa ITENAS, Bandung, 28 Mei 2005.

Selasa, 17 November 2009

17 PUPUH SUNDA

Pupuh adalah bentuk puisi tradisional bahasa Sunda yang memiliki jumlah suku kata dan rima tertentu di setiap barisnya. Terdapat 17 jenis pupuh, masing-masing memiliki sifat tersendiri dan digunakan untuk tema cerita yang berbeda.

Asmarandana, bertemakan cinta kasih, birahi.
Contoh pupuh:

PIWURUK SEPUH
Ngariung di tengah bumi,
pun biang sareng pun bapa,
jisim abdi diuk mando,
husu ngupingkeun pituah,
piwejang ti anjeunna,
pituduh laku rahayu,
piwejang sangkan waluya.


Balakbak, bertemakan lawak, banyolan
Contoh pupuh:

DAYEUH BANDUNG
Dayeuh Bandung kiwari teuing ku rame-araheng,
gedong-gedong pajangkung-jangkung wangunna-alagreng,
tutumpakan-tutumpakan balawiri lalar liwat-garandeng.


Dangdanggula, bertemakan ketentraman, keagungan, kegembiraan
Contoh pupuh:

MILANG KALA
Dinten ieu estu bingah ati,
ku jalaran panceg milang kala,
kenging kurnia ti Alloh,
rehing nambahan taun,
tepung taun umur sim abdi,
henteu weleh neneda,
ka Gusti Nu Agung,
malar umur teh mangpaat,
tebih bahla turta pinarinan rijki,
sumujud ka Pangeran.


Durma, bertemakan kemarahan, kesombongan, semangat
Contoh pupuh:

LEMAH CAI
Nagri urang katelah Indonesia,
diriksa tur dijaring,
sumirat komarana,
berkahna Pancasila,
ageman eusining nagri,
yu sauyunan,
ngawangun lemah cai.


Gambuh, bertemakan kesedihan, kesusahan, kesakitan
Contoh pupuh:

KADUHUNG
Kaduhung sagede gunung,
kuring sakola teu jucung,
lalawora resep ulin,
hanjakal tara ti heula,
ayeuna kari peurihna.


Gurisa, bertemakan khayalan
Contoh pupuh:

SI KABAYAN
Si Kabayan lalamunan,
pangrasa bisa nyetiran,
motor atawana sedan,
poho keur eundeuk-eundeukan,
na dahan emplad-empladan,
gujubar kana susukan.


Jurudemung, bertemakan kebingungan
Contoh pupuh:

ADIGUNG
Lolobana mungguh jalma,
embung hina hayang agung,
hayang hirup mukti,
tapina embung tarekah,
tinangtu mo bakal nanjung.


Kinanti, bertemakan penantian
Contoh pupuh:

KANYAAH INDUNG
Kanyaah indung mo suwung,
lir jaladri tanpa tepi,
lir gunung tanpa tutugan,
asihna teuing ku wening,
putra teh didama-dama,
dianggo pupunden ati.


Lambang, bertemakan lawak dengan aspek renungan
Contoh pupuh:

WAWANGSALAN
Dialajar wawangsalan,
saperti tatarucingan,
cik naon atuh maksudna,
teangan naon wangsalna,
gedong ngambang di sagara,
ulah kapalang diajar,
keuyeup gede di lautan,
kapitineung salawasna.


Magatru, bertemakan penyesalan
Contoh pupuh:

KASAR - LEMES
Dupi irung lemesna teh nya pangambung,
pipi mah disebat damis,
upami buuk mah rambut,
ceuli sok disebat cepil,
kasarna angkeut mah gado.


Maskumambang, bertemakan kesedihan yang mendalam
Contoh pupuh:

BUDAK JAIL
Anak manuk dikatepel budak jail,
jangjangna getihan,
rek hiber teu bisa usik
duh manusa kaniaya.


Mijil, bertemakan kesedihan yang menimbulkan harapan
Contoh pupuh:

NUNGTUT ELMU
Najan cicing nya di tepiswiring,
kade ulah bodo,
kudu tetep nungtut elmu bae,
sabab jalma nu loba pangarti,
hirup tangtu hurip,
mulus tur rahayu.


Pangkur, bertemakan perasaan sebelum mengemban sebuah tugas berat
Contoh pupuh:

KA SAKOLA
Seja miang ka sakola,
rek diajar nambahan elmu pangarti,
pigeusaneun bekel hirup,
sabab mungguhing manusa,
kudu pinter beunghar ku elmu panemu,
komo jaman pangwangunan,
urang kudu singkil bakti.


Pucung, bertemakan rasa marah pada diri sendiri
Contoh pupuh:

TATAKRAMA
Mangka inget tatakrama sopan santun
tanda jalma iman,
nyarita jeung amis budi,
da basa mah lain barang anu mahal.


Sinom, bertemakan kegembiraan
Contoh pupuh:

TATAR SUNDA
Tatar Sunda estu endah,
lemah cai awit jadi,
sarakan asal gumelar,
amanat Ilahi Robbi,
titipan nini aki,
wajib dijaga dijungjung,
basa katut budayana,
padumukna luhung budi,
insya-Allah tatar Sunda karta harja.


Wirangrong, bertemakan rasa malu akan tingkah laku sendiri
Contoh pupuh:

SIEUN DORAKA
Kuring moal deui-deui,
gaduh panata nu awon,
ngabantah nu jadi indung,
sieun dibendon ku Gusti,
kawas Dalem Boncel tea,
doraka ti ibu-rama.


Ladrang, bertemakan sindiran
Contoh pupuh:

MOKAHAAN
Aya hiji anak bangkong leutik,
mokahaan,
maksudna ngelehkeun sapi,
nahan napas antukna bitu beuteungna.

Senin, 16 November 2009



CANGKUANG & KAMPUNG PULO
Berdasarkan sejarah, Candi Cangkuang merupakan bangunan suci berkonsep Hindu pada abad ke-7 dan 8 Masehi. Dibangun, tepat di tengah Situ Cangkuang, Garut, Jawa barat. Terdapat nilai ritual pada candi tersebut sebagai bentuk kedekatan budaya masyarakat Sunda dengan agama Hindu sejak zaman Kerajaan Taruma Negara. Hal itu terlihat dari kebiasaan perayaan hari-hari ritual setelah kematian dan penyembahan nenek moyang (Mangle, 28 Agustus 2003).

Hingga saat ini, sikap hormat pada roh nenek moyang masih dianggap menyelamatkan tradisi adat. Perpaduan antara Hinduisme dan nilai kultural yang khas dari masyarakat Sunda dikenal sebagai kepercayaan Jati Sunda atau kepercayaan sinkretis; sebuah konsep berkeyakinan yang menghubungkan arwah-leluhur, agama Hindu, dan Buddha demi menciptakan keteraturan hidup mereka.

Jati Sunda bukan sekadar pertautan kultur dan agama. Bahkan bagi masyarakat adat Kampung Pulo yang dekat dengan Candi Cangkuang, Jati Sunda merupakan oase kultural. Untuk keselamatan bersama, masyarakat adat memahami budaya dengan kekuatan magis-spritual. Bagaimana candi itu disakralkan terlihat dari konsistensi masyarakat pada norma adat.

Bagi mereka, benda budaya atau peninggalan sejarah mengandung kekuatan supranatural yang pada gilirannya menjadi pusat hidup. Atas dasar pandangan itu, bangunan Candi Cangkuang dipercaya mengandung roh leluhur. Maka menghormatinya merupakan perilaku adat paling mulia.

Pandangan demikian tidak pernah lekang oleh waktu. Bahkan telah membangun konstruksi budaya yang lahir dari pertautan roh dan tradisi. Pada dasarnya, memang sebuah magis-spritual dan terkadang cerita mitos. Tetapi terlampau kuat memengaruhi pergulatan hidup manusia. Seakan masa depan peradaban bergantung padanya.

Setelah Kampung Pulo mulai mengakrabi Islam, keyakinan Jati Sunda tetap dianggap bagian penting kesadaran adat. Penghormatan terhadap Candi Cangkuang tidak pernah tergantikan. Budaya terpelihara sebagai ruang bersama tanpa ada konflik, perbedaan maupun keresahan sosial.

Sekalipun Islam telah menjadi agama adat Kampung Pulo, kebiasaan merayakan ritual setelah kematian dan memberikan kemenyan atau bunga-bungaan untuk tujuan mendekatkan diri kepada roh leluhur masih lestari sehingga harmoni yang lahir dari keseimbangan sosial senantiasa menyifati sistem adat.

Persis di sisi selatan Candi Cangkuang, berdiri tegak nisan makan Arif Muhamad, tokoh Islam pertama Kampung Pulo. Saling bersebelahan tanpa satu pun mengalami kepunahan. Dalam suasana bersama, ada kejujuran tidak terbantahkan. Yaitu, perihal keterbukaan saat terjadi pergulatan identitas atau perbedaan.

Candi Cangkuang yang Hindu cenderung tidak mengacuhkan persoalan itu. Demikian pula nisan Arif Muhamad menerima kehinduan Candi Cangkuang sebagai kehadiran makna. Makna yang nantinya menyembulkan kebudayaan tanpa konflik, solid serta menenteramkan manusia.

Selain itu, Candi Cangkuang dan nisan makam Arif Muhamad merupakan dua sumber adat Kampung Pulo yang mahakuat. Keduanya memberikan orientasi bahwa tradisionalitas dapat mengilhami keajekan, menerima apa adanya dalam suasana penuh hormat pada sesama. Darinya, persoalan identitas tidak pernah muncul. Seperti halnya perselisihan yang tidak pernah ada.

Dalam keseharian, masyarakat adat meyakini Islam sebagai agama. Tetapi di saat bersamaan juga mengamini ritual Hindu. Perilaku macam itu mungkin merupakan pemaknaan budaya paling manusiawi. Tradisi adat dilahirkan bukan atas dasar ego manusia, melainkan melalui peleburan makna roh-leluhur, alam, dan norma manusia. Dengan begitu, mengerti budaya harus melampaui segala kepastian rencana manusia. Juga, perlu menghadirkan makna dari setiap simbol budaya, mitos dan peninggalan leluhur untuk menciptakan hidup tanpa konflik.

TEASER: Cara pandang macam itu tersirat jelas pada bangunan Candi Cangkuang. Tidak hanya menampilkan sisi eksotis laiknya bangunan candi bersejarah. Tapi diyakini mampu menyudahi perbedaan serta pertarungan identitas.

Kinanti

Laras: Pelog/Salendro
Watekna: miharep atawa prihatin.
1 Pada := 6 Padalisan

kembang ros ku matak lucu ( 8 – u )
nya alus rupa nya seungit ( 8 – i )
henteu aya papadana ( 8 – a )
ratuning kembang sajati ( 8 – i )
papaes di patamanan ( 8 – a )
seungit manis ngadalingding ( 8 – i )

Pupuh 8: Kinanti

Budak leutik bisa ngapung
Babaku ngapungna peuting
Nguriling kakalayangan
Neangan nu amis-amis
Sarupaning bungbuahan
Naon bae nu kapanggih

Panambih:

Ari beurang ngagarantung
Pinuh dina dahan kai
Disarada patembalan
Nu kitu naon ngaranna

————————
Laras: Salendro
Vokal: Seniman/wati RRI Bandung
Sumber: Dokumen RRI Bandung
Encryptor: Ki Hasan (khs579@yahoo.com)
Titimangsa: 3 September 2004

Asmarandana

Laras: Salendro
Watek: silih asih silih pikanyaah atawa mepelingan.
1 Pada := 7 padalisan.

Pupuh 1: Asmarandana

Eling eling mangka eling ( 8 engang – vokal i / E-ling-e-ling-
mang-ka-e-ling (jumlah 8), ling panungtung vokalna i)
rumingkang di bumi alam( 8 – a )
darma wawayangan bae ( 8 – e )
raga taya pangawasa ( 8 – a )
lamun kasasar lampah ( 7 – a )
nafsu nu matak kaduhung ( 8 – u )
badan anu katempuhan ( 8 – a )

Panambih:

Eling-eling masing eling
Di dunya urang ngumbara
Laku lampah nu utama
Asih ka papada jalma
Ucap tekad reujeung lampah
Tingkah polah sing merenah
Runtut rukun sauyunan
Hirup jucung panggih jeung kamulyaan

——————-
Laras: Salendro
Vokal: Seniman/wati RRI Bandung
Sumber: Dokumen RRI Bandung
Encryptor: Ki Hasan
Titimangsa: 26 Agustus 2004

Pupuh Sunda

“Hana nguni hana mangke

Tan hana nguni tan hana mangke

Aya ma beuheula aya tu ayeuna

Hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna

hana tunggak hana watang

Tan hana tunggak tan hana watang

Hana ma tunggulna aya tu catangna”