Berdasarkan sejarah, Candi Cangkuang merupakan bangunan suci berkonsep Hindu pada abad ke-7 dan 8 Masehi. Dibangun, tepat di tengah Situ Cangkuang, Garut, Jawa barat. Terdapat nilai ritual pada candi tersebut sebagai bentuk kedekatan budaya masyarakat Sunda dengan agama Hindu sejak zaman Kerajaan Taruma Negara. Hal itu terlihat dari kebiasaan perayaan hari-hari ritual setelah kematian dan penyembahan nenek moyang (Mangle, 28 Agustus 2003).
Hingga saat ini, sikap hormat pada roh nenek moyang masih dianggap menyelamatkan tradisi adat. Perpaduan antara Hinduisme dan nilai kultural yang khas dari masyarakat Sunda dikenal sebagai kepercayaan Jati Sunda atau kepercayaan sinkretis; sebuah konsep berkeyakinan yang menghubungkan arwah-leluhur, agama Hindu, dan Buddha demi menciptakan keteraturan hidup mereka.
Jati Sunda bukan sekadar pertautan kultur dan agama. Bahkan bagi masyarakat adat Kampung Pulo yang dekat dengan Candi Cangkuang, Jati Sunda merupakan oase kultural. Untuk keselamatan bersama, masyarakat adat memahami budaya dengan kekuatan magis-spritual. Bagaimana candi itu disakralkan terlihat dari konsistensi masyarakat pada norma adat.
Bagi mereka, benda budaya atau peninggalan sejarah mengandung kekuatan supranatural yang pada gilirannya menjadi pusat hidup. Atas dasar pandangan itu, bangunan Candi Cangkuang dipercaya mengandung roh leluhur. Maka menghormatinya merupakan perilaku adat paling mulia.
Pandangan demikian tidak pernah lekang oleh waktu. Bahkan telah membangun konstruksi budaya yang lahir dari pertautan roh dan tradisi. Pada dasarnya, memang sebuah magis-spritual dan terkadang cerita mitos. Tetapi terlampau kuat memengaruhi pergulatan hidup manusia. Seakan masa depan peradaban bergantung padanya.
Setelah Kampung Pulo mulai mengakrabi Islam, keyakinan Jati Sunda tetap dianggap bagian penting kesadaran adat. Penghormatan terhadap Candi Cangkuang tidak pernah tergantikan. Budaya terpelihara sebagai ruang bersama tanpa ada konflik, perbedaan maupun keresahan sosial.
Sekalipun Islam telah menjadi agama adat Kampung Pulo, kebiasaan merayakan ritual setelah kematian dan memberikan kemenyan atau bunga-bungaan untuk tujuan mendekatkan diri kepada roh leluhur masih lestari sehingga harmoni yang lahir dari keseimbangan sosial senantiasa menyifati sistem adat.
Persis di sisi selatan Candi Cangkuang, berdiri tegak nisan makan Arif Muhamad, tokoh Islam pertama Kampung Pulo. Saling bersebelahan tanpa satu pun mengalami kepunahan. Dalam suasana bersama, ada kejujuran tidak terbantahkan. Yaitu, perihal keterbukaan saat terjadi pergulatan identitas atau perbedaan.
Candi Cangkuang yang Hindu cenderung tidak mengacuhkan persoalan itu. Demikian pula nisan Arif Muhamad menerima kehinduan Candi Cangkuang sebagai kehadiran makna. Makna yang nantinya menyembulkan kebudayaan tanpa konflik, solid serta menenteramkan manusia.
Selain itu, Candi Cangkuang dan nisan makam Arif Muhamad merupakan dua sumber adat Kampung Pulo yang mahakuat. Keduanya memberikan orientasi bahwa tradisionalitas dapat mengilhami keajekan, menerima apa adanya dalam suasana penuh hormat pada sesama. Darinya, persoalan identitas tidak pernah muncul. Seperti halnya perselisihan yang tidak pernah ada.
Dalam keseharian, masyarakat adat meyakini Islam sebagai agama. Tetapi di saat bersamaan juga mengamini ritual Hindu. Perilaku macam itu mungkin merupakan pemaknaan budaya paling manusiawi. Tradisi adat dilahirkan bukan atas dasar ego manusia, melainkan melalui peleburan makna roh-leluhur, alam, dan norma manusia. Dengan begitu, mengerti budaya harus melampaui segala kepastian rencana manusia. Juga, perlu menghadirkan makna dari setiap simbol budaya, mitos dan peninggalan leluhur untuk menciptakan hidup tanpa konflik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar